Monday 8th of December 2025

Dampak Lingkungan PT Tusam Hutani Lestari: Bagaimana Praktik Pengelolaan Hutan Diduga Menyebabkan Banjir Besar di Aceh dan Solusi Berkelanjutan

Dampak Lingkungan PT Tusam Hutani Lestari: Bagaimana Praktik Pengelolaan Hutan Diduga Menyebabkan Banjir Besar di Aceh dan Solusi Berkelanjutan

--

Studi kasus serupa di Kalimantan oleh World Resources Institute (2022) menunjukkan bahwa setiap 10% kehilangan tutupan hutan meningkatkan risiko banjir sebesar 15–20%.

Selain deforestasi, praktik pembukaan lahan dengan metode tebang pilih (selective logging) dan pembuatan jalan hauling di lereng curam turut memperburuk erosi.

Laporan Walhi Aceh (2024) mendokumentasikan sedimen sungai di Krueng Peusangan meningkat hingga 400% dibandingkan baseline tahun 2000, menyebabkan pendangkalan dan luapan air ke pemukiman. Masyarakat adat Gayo di Kampung Balee dan Kemili melaporkan bahwa banjir tahun 2025 merupakan yang terparah dalam tiga dekade, dengan ketinggian air mencapai 3–4 meter, jauh melebihi banjir sebelumnya yang hanya 1–1,5 meter.

Baca juga: Rekomendasi Laundry Terdekat dalam Jarak 400 Meter dari Lokasi Anda: Panduan Lengkap Memilih Jasa Cuci Baju yang Tepat

Baca juga: Apakah Aplikasi Cek Bansos Aman? Jangan Isi Data Sembarangan! Cek Disini Ulasan Lengkapnya

Pemerintah Provinsi Aceh melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk tim verifikasi lapangan pada Januari 2025. Hasil awal menunjukkan adanya pelanggaran Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan, termasuk penebangan di luar blok yang diizinkan dan kegagalan rehabilitasi lahan kritis.

Sanksi administratif berupa pencabutan sementara izin operasional telah diberlakukan, namun belum diikuti dengan proses hukum pidana meskipun Pasal 78 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengancam pidana penjara hingga 10 tahun bagi pelaku kerusakan lingkungan yang menyebabkan korban jiwa.

Di sisi lain, PT Tusam Hutani Lestari membantah tuduhan tersebut melalui pernyataan resmi di situs web perusahaan. Mereka mengklaim telah melaksanakan program High Conservation Value (HCV) dan menanam kembali 15.000 hektare dengan jenis akasia dan eucalyptus sejak 2020.

Namun, verifikasi independen oleh Rainforest Alliance menemukan bahwa tingkat kelangsungan hidup tanaman replantasi hanya 45%, jauh di bawah standar 80% yang dipersyaratkan dalam sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council). Selain itu, monokultur tanaman cepat tumbuh justru mengurangi biodiversitas dan kapasitas retensi air jangka panjang dibandingkan hutan alam.

Source:

Update Terbaru

RELATED POST